Saya termasuk terlambat menikmati Film Laskar Pelangi. Sejak diedarkan pada paruh kedua tahun lalu, baru hari ini saya bisa menonton film besutan Riri Reza itu. Itu juga lantaran adanya acara Two Days Celebration of Best Asian Films di Goethe Institute, Akasaka, Tokyo.  Jadi, barangkali tulisan ini akan terasa usang dan berkurang orisinalitasnya karena jaraknya yang terlalu jauh dengan waktu penayangan film tersebut. Namun, sekali lagi, saya perlu mengemukakan kesan saya terhadap film tersebut ke dalam tulisan ini meskipun di sana-sini mungkin terkesan klise atau mengulangi apa yang dikatakan oleh orang lain.

Jujur saja, saya belum membaca tuntas novel Laskar Pelangi (LP) karya Andre Hirata. Itu bukan lantaran saya tak suka, namun karena konsentrasi saya agak sulit untuk saya ajak mengapresiasi sebuah karya inspiratif sekelas LP. Jadi, daripada saya tidak bisa konsentrasi, lebih baik saya tunda. Namun, sebelum pembacaaan novelnya saya lanjutkan, keburu filmnya sudah hadir di depan saya.

Ada tiga hal yang patut saya acungi jempol pada Riri Reza dan krunya yang berhasil mengangkat novel LP ke dalam bentuk layar lebar. Tentu saja itu bukan perkara mudah. Seperti yang saya sampaikan pada tulisan saya tentang AAC, pada produksi sebuah film yang didasarkan pada kesuksesan narrative atau kisah tersebut dalam bentuk lain, misalnya novel, film seri televisi, drama, dan lain-lain, sutradara terbebani oleh kesuksesan tersebut. Dia sedapat mungkin harus memuaskan masyarakat yang mungkin sudah pernah menikmati narrativetersebut dalam bentuk lain. Sedikit saja interpretasinya terhadap karya itu tidak memenuhi harapan penggemar Laskar Pelangi, maka keseluruhan karya film itu menjadi sebuah kesia-siaan. Itulah beratnya memindahkan sebuah karya novel, terutama karya sastra, ke dalam bentuk pita seluloid.

Jika kebanyakan orang Indonesia menyukai novel Laskar Pelangi, tidak demikian ternyata dengan beberapa mahasiswa Jepang yang saya kenal. Mereka berminat dengan kebudayaan Indonesia, sehingga mereka pun mencoba untuk memahami pelbagai karya budaya Indonesia, termasuk di dalamnya bacaannya. Nah, ketika mencoba menikmati LP, mereka merasa bahwa karya Andrea Hirata tersebut terlalu syarat dengan deskripsi. Jadi agak sulit dipahami, dan tidak banyak bercerita tentang topik cerita itu sendiri. Saya sendiri–jujur saja–tidak patut memberikan penilaian apakah mereka benar atau tidak mengenai novel LP karena saya sendiri terhenti sampai Bab 2 ketika membaca novel LP. Sampai sekarang saya belum mulai membacanya untuk menuntaskannya lagi.

Sukses dengan Laskar Pelangi, Riri Reza membidik momen yang masih hangat sepeninggal film Laskar Pelangi. Dia pun mengangkat novel kedua dari tetralogi Laskar Pelangi. Entahlah, dengan menggandeng Ariel Peterpan, Riri mencoba mengajak masyarakat penggemar karya-karya Andrea Hirata untuk kembali ke bioskop untuk menonton Sang Pemimpi. Syutingnya sudah selesai dilakukan di Belitong dan kini sedang dalam proses pascaproduksi. Daripada berandai-andai, lebih baik kita tunggu bagaimana film Sang Pemimpi. Apakah sanggup memenuhi apa yang kita impikan tentang karya-karya Andrea yang inspiratif. Semoga.

Dulu ketika masih tinggal di Indonesia, saya kadang-kadang tidak bisa begitu saja percaya pendapat bahwa seenak-enaknya tinggal di negeri orang, lebih enak tinggal di negeri sendiri. Tesis seperti itu sebenarnya juga direkam dengan baik dalam peribahasa kita: lebih baik hujan batu di negeri sendiri, daripada hujan emas di negeri orang. Apakah betul demikian? Tentu saja saya tidak bisa menjawabnya sampai mendapatkan kesempatan untuk tinggal di luar negeri selama bertahun-tahun.

Setelah hampir tujuh tahun saya tinggal di luar negeri, apakah betul peribahasa yang saya kutip tadi memang menyampaikan sesuatu yang benar? Ternyata, sampai saat ini pun, saya tetap kesulitan menjawabnya.

Sebagai orang yang dibesarkan di sebuah kota di Jawa Tengah yang guyub dan akrab, ketika sedang berada di luar negeri, saya merasakan betul kerinduan terhadap suasana di Indonesia. Hal itu lebih-lebih lagi terasa terutama di negara yang masyarakatnya amat individualistis. Keguyuban masyarakat dan sanak saudara, keindahan alam dan budaya, serta kelezatan masakan Indonesia seolah-olah menjadi faktor-faktor tak tergantikan ketika kita hidup di negeri lain. Biasanya hal tersebutlah yang memang membuat kita selalu merindukan suasana dan ingin kembali ke tanah air.

Namun, di luar faktor itu, apakah ada hal yang menguatkan tesis bahwa hidup di negeri sendiri lebih menyenangkan? Jelas ini juga pertanyaan yang agak sulit dijawab. Jika menilik peribahasa tadi, negeri orang selalu diidentikkan dengan hujan emas. Tampaknya, persepsi sebagian masyarakat kita memang menganggapnya demikian. Negeri lain—tidak selalu harus diartikan negara lain—tampaknya menjadi tanah harapan. Akibatnya, dalam beberapa kebudayaan kita terdapat tradisi merantau. Merantau atau pergi mencari kehidupan di tempat lain merupakan hal yang lumrah bagi anggota masyarakat kita. Jadi, jika pada beberapa tahun belakangan ini terjadi eksodus besar-besaran tenaga kerja dari negeri kita ke luar negeri, hal itu bukanlah fenomena yang baru dan mengejutkan.

Mengapa itu bukan fenomena baru? Sebenarnya, sekian puluh tahun lalu perpindahan atas dasar alasan ekonomi itu sudah terjadi di negeri kita. Lihat saja; dulu telah terjadi eksodus masyarakat usia produktif dari desa ke kota dan dari luar Jawa ke Jawa selama sekian puluh tahun. Nampaknya, kecenderungan itu berganti seiring dengan turunnya pamor pulau Jawa dan kota-kotanya sebagai sumber-sumber penghidupan sejak tahun 1980-an. Arah eksodus pun kini mulai beralih melewati batas-batas negara meskipun alasan dan tujuan proses tersebut tetap saja sama.

Sekarang yang juga menggelitik saya adalah: mengapa hujan batu selalu dilimpahkan kepada negeri sendiri? Barangkali ini terkait dengan sindrom inferioritas pada masyarakat kita yang umumnya tidak yakin dengan kemampuan diri sendiri. Sebagian pakar kajian pascakolonialisme, seperti Isabella Matsikidze, menduga ini sebagai akibat dari kolonialisasi yang telah mengubah alterasi atau orientasi bangsa kita. Akibatnya sangat kuat dirasakan hingga sekarang. Misalnya, ketidakpercayaan terhadap barang produksi dalam negeri, ketidakpercayaan diri ketika berhadapan dengan orang asing, anggapan bahwa apa yang berasal dari luar negeri adalah lebih baik, dan sebagainya.

Melihat situasi tersebut, agaknya sebagian masyarakat menganggap bahwa hidup di negara lain barangkali lebih baik daripada di negeri sendiri. Dengan standar kehidupan tinggi serta layanan publik prima, tinggal dan bekerja di negeri lain, terutama yang sudah masuk kategori negara maju, memang menjanjikan. Jadi, pertanyaannya adalah apakah taraf kehidupan tinggi dan layanan publik prima tidak mungkin diwujudkan di negeri kita? Ini juga pertanyaan yang, jujur, sulit dijawab karena tidak semudah membalikkan tangan.

Saya termasuk golongan orang yang percaya bahwa apa saja yang ada di muka bumi ini bisa berubah. Jadi, selama kita yakin bahwa tidak selamanya hujan emas hanya turun di negeri orang, kita akan terus berupaya untuk menciptakan hujan yang sama di negeri sendiri: Indonesia. Namun, jika kita terus hanya memposisikan Indonesia sebagai wilayah tempat hujan batu “selayaknya” turun, maka selama itu pula Indonesia hanya pantas bagi hujan batu. Jelas ini akan membuat situasi di Indonesia tidak akan pernah berubah ke arah perbaikan, namun justru ke arah keterpurukan. Saya jadi teringat sebuah ayat suci yang menyatakan bahwa Tuhan tidak akan mengubah nasib sebuah kaum apabila kaum itu sendiri tidak berupaya untuk mengubahnya.

Pada era sekarang ini, kita juga dapat menamsilkan Indonesia sebagai sebuah “desa besar” yang ditinggalkan sebagian masyarakatnya dalam proses “urbanisasi” atau “hijrah” ke negeri-negeri lain. Indonesia ditinggalkan karena sudah kehilangan daya tariknya, sementara kota-kota di negeri orang menjadi “urban” yang menjadi pusat daya tarik. Banyak orang di “desa besar” Indonesia yakin bahwa luar negeri adalah tempat menggapai harapan. Di sanalah segala harapan akan hidup yang layak dan nyaman terletak. Namun, banyak orang lupa bahwa tidak semua kehidupan di negeri lain itu nyaman dan menyenangkan, melainkan juga ada aspek-aspek kehidupan lain yang menyulitkan, misalnya pajak yang tinggi, stigmatisasi terhadap orang asing—terutama dari Asia, biaya hidup yang mencekik leher, dan sebagainya. Karenanya, ada juga banyak orang yang gagal dan kecewa karena kenyataan yang dihadapinya di luar negeri sama sekali berbeda dengan apa yang diharapkan. Tampaknya, banyak orang yang lupa untuk melihat persoalan ini secara lebih menyeluruh.

Kembali lagi pada permasalahan semula: bagaimana agar hujan emas tidak hanya dimonopoli oleh negeri orang, melainkan juga dapat turun di negeri sendiri? Saya kira, semuanya terletak pada diri kita sendiri. Wajah Indonesia kini sebenarnya refleksi dari apa yang telah kita capai dan lakukan hingga hari ini. Jadi sebaik apa pun Indonesia sekarang, sebaik itu pula usaha yang telah kita lakukan. Seburuk apa pun wajah Indonesia saat ini, memang seburuk itulah perlakuan yang telah kita tampilkan dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, mulai sekarang, daripada terus-terusan bersikap pasrah terhadap hujan batu, mengapa kita tidak bersama-sama berupaya membuat hujan emas di negeri sendiri, Indonesia tercinta?

My first online experience? Kening saya mungkin akan mengernyit untuk menjawabnya karena barangkali saya harus membuka-buka kembali lembar demi lembar catatan sebelas tahun silam. Ya, pertama kali saya going online kira-kira bersamaan dengan masa-masa pahit dan getirnya negara kita, Indonesia, melalui krisis keuangan yang kemudian berubah menjadi krisis politik. Saya kira banyak orang Indonesia pertama kali bersentuhan dengan internet juga sekitar tahun-tahun tersebut. Bahkan, situs berita online detikcom pun juga lahir 11 tahun silam!

Pertama kali online bagi saya seperti memasuki dunia baru: dunia ketika isi dan tampilan komputer saya tidak lagi melulu berkaitan dengan pekerjaan atau tugas sekolah. Seketika layar monitor saya yang semula cuma menampilkan program pendukung pekerjaan administratif semacam Microsoft Word, Microsoft Excel, atau program untuk kegiatan kreatif semacam Adobe Photoshop, Macromedia Freehand, dan lain-lain, tiba-tiba berubah menjadi “berwarna” dengan tampilan online karena terhubung melalui jaringan Internet dengan situs tertentu yang tersimpan di sebuah server nun jauh di sana.

Terus terang agak kampungan juga saya kala itu; senang sekali melihat banner ads di dalam situs yang berkedap-kedip atau berubah-ubah seperti menari-nari di layar komputer saya. Biasanya banner itu yang saya gunakan sebagai tanda apakah komputer saya sudah terhubung ke dalam jaringan atau belum. Meskipun proses pemuatturunan (baca: downloading)-nya cukup untuk dipakai membuat mie instant, hati terasa gembira manakala sudah terhubung dengan situs berita semacam Yahoo! atau MSN yang sudah cukup merajai dunia maya ketika itu.

Segera saja saya membuat akun email di Yahoo dan Hotmail. Kala itu pun, saya sudah cukup kesulitan mencari ID pengguna (user ID) sesuai dengan yang saya inginkan karena sudah banyak alternatif ID pengguna yang keduluan digunakan orang lain. Maklum, meskipun internet baru diperkenalkan kepada publik di Indonesia pada paruh kedua dasawarsa 1990-an, sudah banyak orang Indonesia di luar negeri yang memanfaatkannya. Jadi, merekalah mungkin orang-orang pertama yang menikmati keleluasaan membuat akun email sesuai dengan keinginan mereka.

Saya masih ingat pada masa awal-awal saya berkenalan dengan internet, sistem yang digunakan masih bersifat dial-up atau menghubungi nomor telepon tertentu untuk terhubung dengan jaringan internet. Beberapa penyedia jasa layanan internet awal di Indonesia, seperti rad.net, indo.net, dan melsa.net, menyediakan layanan berlanggan kepada publik dengan sistem tersebut. Kecepatannya? Jangan ditanya. Kadang-kadang saya melakukannya sambil memasak nasi goreng untuk menunggu waktu bisa tersambung dengan internet. Meskipun begitu, itu sudah menyenangkan hati saya dan banyak orang lain ketika itu: era ketika informasi tersedia sampai ke depan meja kita benar-benar telah tiba! Menyusul maraknya layanan perintis internet di Indonesia, selang beberapa saat kemudian, beberapa penyedia konten pun bermunculan. Umumnya berupa situs berita dan portal online. Beberapa di antaranya tenggelam dan tak terdengar lagi kiprahnya seperti Astaga! dan satunet, tetapi sedikit di antara mereka masih tetap eksis hingga sekarang, misalnya detikcom.

Kegiatan yang mengasyikkan dengan kehadiran internet jelas cukup banyak selain hanya bertukar kabar melalui email. Chatting atau mengobrol melalui jaringan internet jelas sebuah daya tarik baru di dalam internet. Meskipun saya belum pernah ikut chatting menggunakan mIRC, pengalaman chat pertama saya justru melalui sebuah portal yang kini tidak lagi eksis: bolehcom. Di sana saya berkomunikasi dengan beberapa orang, bahkan beberapa di antaranya sering bertemu melalui ruang chat tersebut. Segala halangan psikologis memang menjadi hilang ketika menggunakan media chat karena saling tidak bertatap muka dan tidak saling mengenal. Namun, akibatnya kita pun tidak bisa mengenal lebih lanjut lawan chat kecuali julukan atau nickname-nya.

Merasa jenuh dengan chat model demikian, saya mulai menggunakan perangkat lunak messenger dari Yahoo dan MSN untuk berkomunikasi dengan teman-teman yang saya kenal. Terdorong oleh situasi saya tinggal dan studi di luar negeri, untuk tetap saling menjaga hubungan dengan teman-teman, saya menggunakan perangkat tersebut hingga sekarang. Jika awalnya dulu kita hanya bisa mengirimkan pesan ortografis, kini messenger dapat menggunakan pelbagai fasilitas di antaranya chat dengan suara dan video, berkirim file, berbagi foto dan media, dan fungsi-fungsi lainnya.

Browsing atau berselancar di dalam internet juga merupakan kenikmatan tersendiri meskipun kadang-kadang bisa membuat lupa waktu. Banyak informasi di internet yang bisa kita manfaatkan, misalnya untuk membuat tugas sekolah, menyiapkan masakan dengan resep tertentu, mencari info hotel dan restoran, dan sebagainya.

Bermain game juga bisa dilakukan lewat internet. Mulai dari game untuk anak-anak hingga yang ditujukan kepada gamer profesional. Dari game yang hanya berfungsi untuk menghibur hingga game yang merangsang otak untuk berpikir. Semuanya tersedia di dalam jaringan internet mulai dari yang gratis hingga yang berbayar. Karena saya bukan maniak game, saya tidak tahu banyak tentang permainan di dunia maya secara lengkap. Namun, bahwa bermain game melalui jaringan internet itu mengasyikkan jelas saya tidak memungkirinya.

Menonton film atau video di internet? Siapa bilang tidak bisa? Dengan kemajuan teknologi database, datang era mesin pencari video Youtube yang masih terus merajai dunia internet hingga saat ini. Kehadiran Youtube memang sedikit banyak mengubah cara kita menyimpan dan mencari informasi. Jika sebelumnya hanya berupa teks atau gambar saja, kini bisa dalam bentuk audiovisual. Banyak hal di dalam dunia hiburan yang berubah dengan kehadiran Youtube, misalnya ada beberapa artis dadakan yang ngetop lantaran memuatnaikkan tampilannya ke situs tersebut dan ditonton jutaan orang di seluruh dunia. Untuk menyebut beberapa contoh, mereka misalnya adalah Andy McKee, Liam Kyle Sullivan, dan Marie Digby. Beberapa perusahaan film besar pun kini menggunakan situs ini untuk mempromosikan film terbarunya dengan memasang trailer-nya.

Berjualan lewat internet sekarang juga bukan monopoli perusahaan besar. Jika pada awal perkembangan internet hanya perusahaan bermodal cukup yang mampu menggunakan internet untuk menopang usahanya, kini bahkan individu pun bisa berjualan lewat internet. Kita memang bisa berbelanja lewat internet, namun kita juga berjualan lewat media yang sama dengan bermunculannya situs auction semacam ebay, yahoo auction, dan lain-lain. Dalam perkembangannya, berjualan juga bisa dilakukan lewat situs jejaring sosial yang kini menjamur.

Ya, tiba masanya situs jejaring sosial merambah internet pada penghujung dekade 1990-an dan berkembang meluas pada awal abad ini. Seketika saya pun menjadi salah satu pegiat di dalamnya! Diawali dengan Friendster yang mulai populer di Indonesia tiga empat tahun silam, kini keseharian saya pun tenggelam ke dalam dunia jejaring sosial Facebook dan Twitter—dua jejaring sosial terkemuka di dunia dan di Indonesia. Facebook mampu mendekatkan kembali silaturahmi yang telah lama putus lantaran jarak dan kesibukan. Akibatnya, banyak reuni berlangsung lantaran Facebook!

Meskipun demikian, get online atau terhubung dengan jaringan internet juga bisa mendatangkan kemudharatan. Akibatnya, pemerintah pun merasa perlu menerbitkan regulasi untuk mengaturnya; bahkan sebagian masyarakat kadang-kadang bereaksi negatif dengan menabukan atau mengharamkan situs-situs tertentu. Dunia virtual di dalam internet kini memang seperti menjadi representasi dari kehidupan itu sendiri. Ada sisi gelapnya, ada sisi terangnya. Semuanya bergantung kepada kita untuk menggunakannya: menggunakan hidup kita untuk kebaikan atau keburukan adalah sama dan sebangun dengan menggunakan internet untuk manfaat atau kemudharatan.

Bagi kita yang hidup dewasa di zaman modern yang individualistis dan materialistis ini, tentunya sulit memahami sedekat apa hubungan kekerabatan kita dengan kakek atau nenek kita. Kita sering menempatkan nenek atau juga kakek kita ke lingkaran luar dari kehidupan kita sehari-hari. Jadi, ketika seseorang sudah menginjak usia lanjut, maka “nilai” di mata masyarakat pun menurut. Tidak hanya di masyarakat, bahkan di dalam keluarganya sendiri. Saya melihat kecenderungan itu di dalam masyarakat modern kita. Kita yang dulu mengagung-agungkan bahwa kita adalah bangsa yang menghormati leluhur atau orang tua, tetapi kenyataan sering menghindar ketika dimintai untuk merawat orang yang sudah tua. Jadi, kita lebih asyik dengan kehidupan kita sendiri sehingga urusan orang tua kita, khususnya kakek dan nenek, biar menjadi urusan nanny atau pengurus panti jompo. Kita sering lupa bahwa tanpa mereka kita tidak akan pernah hadir. Memang, Tuhanlah yang menjadi causa prima, namun Tuhan memilih kakek dan nenek kita sebagai jalan bagi kita untuk eksis di dunia ini.

Sebagian kita, termasuk saya barangkali, memang lebih asyik-masyuk dengan kehidupan diri-sendiri daripada sesekali bercengkerama dengan kakek atau nenek kita. Padahal, mereka mungkin telah mempertaruhkan hidup mereka demi kehidupan yang kita jalani sekarang. Jadi, saatnya kita merenungkan: apa sebenarnya arti seorang nenek? Pertanyaan ini justru mengganggu saya ketika nenek saya, Soedjirah, meninggal dunia dengan tenang tadi pagi, pukul 03.20 di tempat tidur yang menjadi dunia kesehariannya selama 3 tahun belakangannya ini. Selamat jalan, Simbah. Maafkan kesalahan cucumu ini jika ada kesalahan meskipun kecil seperti merogoh uang di dompetmu untuk membeli gulali. Semoga lapang jalanmu menuju Sang Khalik.

Semula saya tak percaya ketika Dauz, sahabat saya, menge-buzz messenger saya untuk mengabarkan situs YouTube tidak bisa diakses dari Indonesia lewat provider mana pun. Jelas itu menambah daftar kekesalan Dauz terhadap negerinya–hehehe, tentu saja juga negeri saya tercinta. Sebelumnya, saya mendengar bahwa hanya mereka yang menggunakan Speedy Telkomlah yang mengalami kegagalan akses terhadap beberapa situs yang menjadi tempat memuatnaikkan file jenis motion pictures alias video, seperti Youtube, Metacafe dan Multiply. Ternyata, pemblokiran bukan cuma terjadi pada Speedy Telkom, namun juga pada penyelengara jasa internet lainnya. APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) telah diminta oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informasi, agar memblokir akses terhadap situs-situs di atas.

Semua pejaring (baca: netters) menanggapi nyaris senada. Ada ibu-ibu dari Bekasi yang menjalankan bisnis rumah tangga dengan memanfaatkan situs jaringan Multiply pun menjerit. Beberapa teman pe-YouTube (baca: YouTuber) pun mengumpat karena tidak bisa mengakses situs favorit bagi penggemar tayangan video itu. Kami yang di luar negeri pun sedikit banyak bakal terkena dampaknya. Kenapa terkena dampaknya juga? Ya, mereka di luar negeri biasanya mengharapkan para pe-YouTube memuatnaikkan acara-acara televisi favorit, klip video, atau apa saja yang gres dari tanah air. Dan, itu, jika pemblokiran YouTube terus menjadi kebijakan final pemerintah, akan membuat tayangan-tayangan serupa itu akan hilang dari situs milik Google itu. Mengapa? Karena pegiat YouTube Indonesia tidak punya akses untuk memuatnaikkan file video mereka.

Semula saya juga hanya percaya bahwa negeri-negeri yang melakukan pemblokiran YouTube itu hanyalah negeri yang kalau tidak dikuasai kelompok kiri, seperti Cina atau Kuba, pasti dikuasai oleh kelompok kanan atau militer, seperti Pakistan ala Jenderal Musharraf atau Thailand ala Jenderal Sonthi. Tetapi, hal ini terjadi di Indonesia, sebuah negeri yang baru saja usai dari euforia kebebasan pascareformasi. Sebuah negeri yang kemudian mengelu-elukan posisinya sebagai negeri baru dengan “the greater space for freedom of speech”. Negeri yang kemudian juga keblabasan menafsirkan arti kebebasan itu sehingga, atas nama kebebasan pula, para wartawan infotainment dengan bebas merecoki rumah tangga dan kehidupan pribadi selebriti, dari urusan sepatu hingga urusan ranjang. Penutupan akses YouTube jelas menguatkan citra Indonesia menjadi negeri yang penuh paradoks: satu sisi dilarang, sisi lain diumbar dan dibuka begitu saja tanpa batas.

Adalah Menteri Muhammad Nuh yang melayangkan surat permintaan agar APJII menutup akses terhadap situs-situs tertentu. Semula figur Menteri Nuh adalah salah satu di antara sedikit menteri yang saya anggap tepat menempati posisinya dalam kabinet kali ini. Yang lain, untuk sekadar menyebutkan nama, adalah Boediono dan Sri Mulyani. Entah kenapa, menteri sekaliber Pak Nuh ini kemudian membuat blunder dengan menutup akses YouTube hanya karena film Wilders? Ada yang mengritik dengan menggunakan perumpamaan lama “membunuh tikus dengan membakar lumbung padinya”. Dengan cerdas, Menteri Nuh pun menanggapi dengan mengibaratkan pemblokiran YouTube sebagai anestesi seluruh tubuh untuk mengambil tumor. Begitu tumor hilang, anestesi dipulihkan, kesehatan dan kebugaran tubuh pun akan meningkat. Entahlah perumpamaan mana yang tepat. Namun, tetap saja, saya menganggap cara pemerintah ini adalah sebuah blunder dan keputusan yang tidak dipikirkan masak-masak.

Syukurlah, anestesi Menteri Nuh kemudian dihilangkan mulai kemarin. Entah, apakah tumornya sudah bisa diangkat atau belum. Yang jelas, sohib saya, Dauz bisa meringis lagi karena sudah bisa mengakses situs kesayangannya. Yah, bagaimana pun juga saya bangga terhadap posisi Indonesia sebagai negeri dengan kebebasan berekspresi yang lebih besar. Itu salah satu dari sedikit hal yang bisa dibanggakan dari negeri Indonesia yang sedang carut-marut saat ini. Jadi, saya berharap agar janganlah direbut dan dirusak lagi kebebasan tersebut, bahkan oleh seorang sekaliber Menteri Nuh sekalipun.

 

   

 

Saya melihat dalam berbagai blog dan situs berita begitu gegap gempitanya berita seputar film Ayat-Ayat Cinta (AAC). Ada yang menyanjungnya, tidak kalah banyak pula yang skeptis dan mengritiknya. Saya, dalam hal ini, tidak dalam posisi menilai atau mengulas film tersebut karena saya belum menonton versi aslinya. Saya, terpaksa, karena saya berada di luar negeri, melihat versi bajakannya yang dimuat-naikkan oleh seorang youtuber di dalam situs video share terkemuka tersebut. Jadi, tidak sepantasnya saya mengritik sebuah karya tanpa melihat karya tersebut dalam bentuk final seperti yang diharapkan oleh pembuatnya. Aneh bukan kalau saya mengritik scoring dalam musik AAC sementara versi yang saya tonton itu aspal dan bukan hasil final sang pembuatnya? (Beberapa background music pada AAC versi bajakan masih menggunakan scoring pada film seperti Schlinder’s List, Taegukgi dan lain-lain.)

Dalam sebuah diskusi dengan seorang teman saya, saya justru melihat demam AAC ini dalam kerangka lain. Kami berdebat tentang membludaknya penonton AAC  dalam beberapa perspektif. Perspektif pertama adalah sebab-sebab meledaknya AAC. Pertama, saya melihat bahwa film AAC meledak karena adanya kebekuan film-film Indonesia yang didominasi film-film bertema horror dan cinta remaja. Mengapa hanya dua tema itu yang menonjol, ya karena film dengan kedua tema itulah yang tidak berisiko tinggi untuk mengalami jeblok di pasaran. Kedua, film AAC menjadi fenomenal karena film itu diadaptasi dari sebuah novel yang menurut saya juga fenomenal. Novel ini adalah novel islami pertama–jika memang boleh mengkategorikan sebuah genre sastra dengan nama sastra islami–yang dibaca tidak hanya oleh para ikhwan dan akhwat, namun juga oleh mereka yang merasa tidak masuk ke dalam kelompok tersebut–meminjam istilah Clifford Geertz: abangan. Jika novelnya membuat banyak abangan yang mencoba mencuri-curi membacanya, filmnya justru sebaliknya. Filmnya sanggup membuat orang-orang penganut waham fanatik yang dahulu menjauhi bioskop karena dianggap simbol keduniawian dan Barat, kini mau datang berbondong-bondong dengan sanak saudaranya.

Perspektif kedua adalah akibat-akibat yang bisa ditimbulkannya. Entah langsung atau tidak langsung, demam AAC memang akan berpengaruh sedikit banyak kepada masyarakat penontonnya, terutama kawula muda. Perilaku mereka barangkali akan terpengaruh oleh nilai-nilai dalam film itu. Namun, sekali lagi, kadarnya dan panjang waktunya sangat ditentukan oleh pribadi masing-masing serta faktor lingkungan yang melingkupinya.  Selain itu, yang jelas, boom AAC akan memancing produser film lain untuk latah membuat film yang sejenis. Hal itu, saya yakin, sudah menjadi ciri khas budaya Indonesia masa kini. Semuanya bertumpu pada trend dan ikut-ikutan. Jika salah satu bisa mendapatkan untung menggunakan resep A, semua orang lalu berbondong-bondong menggunakan resep yang sama agar kecipratan rejeki. Jadi, saya berani bertaruh bahwa akan muncul film-film sejenis setelah suksesnya Ayat-Ayat Cinta. Kita tunggu saja tanggal mainnya.

Berkat dedikasi seorang member Youtube bernama Ando & Lorra, kami yang berada jauh di tanah air ini bisa menyesuaikinikan (baca: update) tontonan kami, khususnya yang berkaitan dengan film Indonesia. Setelah mati suri sekian lama sejak 1992, memang perfilman Indonesia kini mulai bangkit lagi. Ada beberapa film yang patut dicermati. Ada beberapa sutradara yang pantas diakui eksistensinya. Ada pula beberapa artis yang perlu diacungi jempol aktingnya. Dari sekian banyak itu, kali ini saya ingin membicarakan seorang sutradara yang kebetulan menggarap satu judul film yang baru saja saya tonton: Get Married.

Get Married adalah film kesekian dari Hanung Bramantyo yang berkatnya Hanung memenangi penyutradaraan terbaik dalam Festival Film Indonesia tahun lalu. Mengalahkan sutradara dan juga bintang kawakan, Dedi Miswar; juga sutradara muda terkenal Rudy Sudjarwo. Saya memang melihat kekuatan Hanung dalam menggarap film-film bermuatan cinta. Salah satunya yang saya suka adalah Brownies. Sentuhan Hanung membuat film mengalir tanpa ada sebuah kejanggalan yang berarti meskipun tak tertutup kemungkinan masih ada kekurangan di sana sini: terutama di bagian penutup atau akhir film. Kali ini Hanung ingin memperlihatkan kepiawaiannya kembali dalam menyutradarai sebuah film yang agaknya bukan film cinta belaka, melainkan juga sebuah film tentang persahabatan dalam bingkai komedi. Serupa tapi tak sama dengan film lain garapannya yang berjudul Jomblo.

Apa yang membuat Get Married memberikan kesempatan bagi Hanung untuk mendapat sebuah piala Citra lagi? Menurut saya ada empat hal  yang patut dicermati. Pertama, Hanung berhasil menyuguhkan kepada kita realitas sosial dari sebuah masyarakat marginal di perkotaan. Masyarakat “kampung” yang tetap bertahan di antara komunitas lain yang bergerak pesat di kota kosmpolitan, seperti Jakarta. Kedua, Hanung berhasil mengeksploitasi kemampuan akting beberapa pemain pendukung film ini seperti Nirina, Aming, Agus Ringgo, Jaja, Merriam dan lain-lain. Meskipun beberapa di antara mereka tampak biasa-biasa saja, termasuk Nirina dan Agus, saya justru tertarik dengan akting Aming yang cukup bagus di sini. Masih ada lagi. Akting Jaja Miharja yang natural juga bisa diimbangi oleh Merriam Bellina yang memang merupakan aktor kampiun pada zamannya. Ketiga, Hanung berhasil mengemas kritik sosial dalam film Get Married ini sedemikian rupa sehingga tidak terkesan terlalu dipaksakan. Keempat, tentu saja, dari segi sinematografi dan fotografi, film ini juga sangat baik. Dibandingkan dengan Rudy Sudjarwo yang sering bereksperimen dengan kamera (misalnya dalam Pocong 2 atau Mengejar Mas-Mas), Hanung lebih sering bermain aman dengan menonjolkan aspek artistiknya. Hasilnya, gambar film Hanung dalam Get Married memang cukup mengagumkan.

Jika ada orang lain yang merasa tersinggung dengan kritik Hanung terhadap manusia Indonesia, terutama menjelang penyerangan Randy (Richard Kevin) dan teman-teman ke kampung Maemun (Nirina), saya justru tertarik melihatnya. Ya, barangkali itu cara Hanung mengingatkan kita, manusia Indonesia, bahwa kita tidak lebih daripada manusia barbar zaman batu apabila masih banyak menggunakan bahasa kekerasan. Mau dibilang apa, ya memang penampilan kita secara umum masih seperti itu. Lihat saja di dalam berita di surat kabar bahwa kampung A dan B tawuran, SMA X dan SMK Z bentrokan, atau Batalyon 123 menyerang Polres XYZ, atau sebaliknya. Jadi, saya kira saya masih bisa memahami kritik Hanung terhadap manusia Indonesia dalam batas tertentu.

Ada satu hal yang menurut saya justru menjadi kelemahan, tetapi sekaligus kelebihan film ini. Apa itu? Itu adalah babak akhir dari film Get Married. Kelemahannya terletak pada penggarapan alur cerita dan pengarakteran tokoh yang kurang sehingga kita melihat begitu mudah jatuhnya babak akhir film ke dalam “happy ending”. Begitu mudahnya Maemun menerima “pinangan” Randy yang sudah mengizinkan bala pasukannya mengobrak-abrik kampungnya. Begitu mudahnya Benny (Agus Ringgo) melepaskan Mae kepada Randy.

Namun, di bagian akhir itu pula juga terdapat kekuatan film ini. Kekuatan itu adalah  kemampuan Hanung dalam mentransformasikan prosesi pernikahan adat Betawi. Sebagian dari kita tentu tahu bahwa di dalam prosesi perkawinan Betawi, rombongan pengantin laki-laki membawa seorang jagoan untuk diadu bermain silat dengan jagoan dari keluarga pengantin wanita. Semuanya yang semula bermakna simbolis direalisasikan oleh Hanung ke dalam bentuk nyata, yakni perkelahian dan tawuran. Tentu saja, jelas, ada yang setuju dan ada yang tidak setuju. Barangkali, kembali lagi, ini adalah kritik Hanung terhadap sistem sosial budaya kita yang cenderung mencerminkan budaya kekerasan. Benarkah itu? Tanyakan saja kepada Hanung.

Former Indonesian President Suharto, the U.S. Cold War ally who led one of the 20th century’s most brutal dictatorships over 32 years that saw up to a million political opponents killed, died Sunday. Begitu kira-kira kalimat pembuka berita Yahoo News yang mengejutkan saya pada hari ini. Entah sulit melukiskan perasaan saya.

Kamis, 14 Mei sepuluh tahun silam saya ada di tengah lautan manusia di halaman FKUI, Salemba UI yang sedang membara. Semua bertujuan satu: menjatuhkan Soeharto. Saya pun datang jauh-jauh dari Depok bersama dengan teman-teman saya, ikut bergabung dengan para mahasiswa untuk menyuarakan suara hati rakyat Indonesia yang berkabung atas kebrutalan aparat yang merenggut 4 mahasiswa Universitas Trisakti dua hari sebelumnya.

Jika Soeharto wafat pada hari itu, mungkin saya akan ikut bersorak bersama-sama para mahasiswa yang sedang dipenuhi gelora euforia reformasi. Namun, Soeharto tidak mangkat hari itu; Soeharto wafat pada hari ini sekitar pukul 13.15 WIB. Soeharto pulang ke Sang Khalik justru ketika semua orang yang mungkin di dadanya dipenuhi bara reformasi pada bulan Mei 1998 sedang mengalami keraguan; keraguan atas langkah-langkah yang harus ditempuh oleh mereka. Keraguan untuk mengadili Soeharto. Keraguan untuk memberi pengampunan kepada Soeharto. Keraguan untuk melanjutkan pemilihan gubernur/bupati secara langsung.

Ya, Soeharto berpulang justru ketika beberapa orang yang dulu menghujat perbuatannya yang dianggap korup, namun kini malah mengulangi perbuatan itu–bahkan dengan skala yang lebih luar biasa. Soeharto adalah orang biasa, sebagaimana juga orang-orang yang menghujatnya. Soeharto bisa berbuat korup sebagaimana juga orang-orang yang menghujatnya. Jadi, tidak ada yang sempurna di dunia ini. Ada kesewenang-wenangan yang ditinggalkan Soeharto; namun, ada pula kebaikan yang ditinggalkan Soeharto dan itu tidak bisa kita mungkiri. Jadi, posisikan Soeharto sebagaimana layaknya: adili dia secara in absentia; putuskanlah salah kalau memang salah, putuskan bebas kalau memang tidak bersalah. Jika memang terbukti bersalah, mari kita bukakan pintu maaf kepada Soeharto karena sekarang segala urusannya selama di dunia menjadi tanggung jawabnya sendiri di hadapan Tuhannya dan di hadapan pengadilan akhir yang mahaadil.

Selamat jalan, Jenderal.   

Waras dalam bahasa Jawa dialek Jawa Timur adalah ‘sembuh’, sementara orang Jawa tengah lebih suka menggunakan kata mari untuk arti yang sama. Dalam pengertian orang Jawa Tengah, makna kata waras mempunyai dampak yang lebih luas daripada sekadar ‘sembuh, pulih atau kembali dalam kondisi fit’. Pada kata waras, kondisi prima atau fit tersebut tidak hanya berlaku pada fisik seseorang, melainkan juga pada mentalnya. Oleh karena itu, mereka yang mengalami gangguan mental sering juga disebut dengan ora waras atau kurang waras.

Dalam posting kali ini, mengapa saya mengangkat kata waras? Ya, tokoh yang beberapa minggu ini menghiasi nyaris semua media massa di tanah air kini sedang beranjak sembuh. Pak Harto sudah membaik, bahkan bisa tersenyum ketika disuapi bubur. Begitu isi berita di dalam Detik.com kemarin. Ada banyak hal yang menarik yang tersisa dari gegap-gempita peristiwa sakitnya sang tokoh Orde Baru.

Pertama, pelataran RSPP yang sempat hiruk-pikuk oleh wartawan pun mulai sepi. Mungkin masih ada juga orang-orang yang menjenguk, menjemput, atau apa saja yang berkaitan dengan Soeharto. Terus terang, saya tidak habis berpikir juga dengan mereka yang meliput peristiwa sakitnya Soeharto. Tentu saja semua setuju bahwa rumah sakit adalah kawasan penyembuhan bagi mereka yang sedang sakit. Bahkan, di beberapa negara, di jalan-jalan menjelang rumah sakit biasanya selalu diberi tanda lalu lintas yang mengharuskan kendaraan mengurangi kecepatan dan tidak memakai tuter atau klakson. Itu tandanya bahwa tidak boleh ribut di kawasan rumah sakit. Nah, tetapi apa yang terjadi ketika peristiwa kaca pecah di RSPP dalam peliputan minggu lalu? Demi hak publik atas informasi, hak publik lain yang sedang merajut kesembuhan pun dikorbankan.

Kedua, selama nyaris lebih satu dekade ini, ketika akal sehat mulai sulit digunakan, banyak orang menggunakan saluran alternatif sebagai sumber yang dapat dipercaya: peramal dan paranormal. Lembaga-lembaga resmi semisalnya BMG atau Pusat Vulkanologi kehilangan kredibilitasnya sehingga luntur kepercayaan publik kepadanya. Akhirnya, paranormal dan peramal pun laris bak selebriti. Ramalan mereka dikultuskan seolah-oleh sebuah keniscayaan. Namun, dalam peristiwa sakitnya Soeharto ini, semuanya tadi luluh lantak: tidak ada seorang pun peramal yang tepat, menebak kematian Soeharto.

Ketiga, mungkin hal ini sudah pernah disampaikan orang lain: di tengah rendahnya kepercayaan terhadap produk dalam negeri, Soeharto justru melawan arus. Seperti kebiasaan beliau ketika masih berkuasa dulu, beliau justru ingin memperoleh perawatan di Indonesia. Langkah besar Soeharto yang ternyata lebih cinta terhadap negeri ini barangkali berbeda jauh dari sebagian orang Indonesia, termasuk saya barangkali. Bahkan, mungkin segelintir orang yang dulu mencaci-makinya di tahun 1998, kini pun lebih suka melakukan medical check-up rutin di R.S. Mount Elizabeth, Singapura atau melakukan bedah jantung di R.S. Mount Sinai Toronto, Kanada tinimbang pergi ke RSCM atau RS Harapan Kita.

Jadi, di balik fenomena Soeharto ini, ada yang bisa kita jadikan teladan dalam menjalin kehidupan di negeri ini. Ternyata di antara ketidakwarasan (baca: ketidakrasionalan) yang merajalela di negeri ini, ternyata masih ada secercah kewarasan (baca: kerasionalan). Dan, justru, antara lain, hal itu ditunjukkan oleh Soeharto yang sedang kurang waras (baca: sakit) dan selama sepuluh tahun ini menjadi sasaran hujatan oleh banyak orang Indonesia, termasuk saya barangkali. 

  

Yang membaca judul posting saya kali ini pasti bingung. Bagaimana bisa menjawab soal, tetapi tidak memahaminya? Mengapa harus bingung? Dalam kehidupan sehari-hari saya kira cukup banyak kejadian seperti itu. Banyak orang “terpaksa” menjawab persoalan, meskipun sebenarnya tidak tahu betul apa persoalannya. Semuanya harus dijawab karena memang dituntut untuk segera menjawabnya, dan bukan lantaran kita sudah memahaminya.

Jadi, menjawab tidak identik dengan memahami. Itulah yang ingin saya tekankan dalam posting kali ini. Menjawab bisa saja dilakukan tanpa pemahaman. Coba saja lihat anak-anak kita yang duduk di bangku sekolah. Mereka berusaha menjawab soal-soal ulangan, ujian atau tes yang disodorkan kepada mereka. Bagaikan mesin, kebanyakan mereka hanya diajari untuk menjawabnya.

Karena yang dipentingkan adalah menjawab, wajar ketika ujian beberapa anak menyiapkan jurus-jurus contekan. Beberapa anak yang tidak berani mencontek lebih memilih menghitung kancing atau menjatuhkan pensil di atas pilihan jawaban. Mereka yang lebih mementingkan proses memahami, tentu saja merasa wajar kalau tidak bisa menjawab–karena memang tidak bisa memahami soalnya.

Namun, sayangnya, kebanyakan orang-orang kita cukup puas dengan kondisi itu dan menganggapnya sebuah keniscayaan. Makanya, banyak bimbingan tes menjamur di segala penjuru tanah air: sebuah badan bisnis yang mendapatkan profit dari jasa mengajarkan bagaimana menjawab soal dengan cepat dan mudah. Jadi, menjawab, sekali menjawab

Jika kita tarik ke dalam kehidupan yang lebih luas, kita juga bisa melihat betapa banyak figur masyarakat yang berusaha tetap menjawab persoalan, meskipun sejatinya tidak memahami persoalan sebenarnya. Sementara itu, kita juga kadang-kadang menemukan adanya figur yang sebenarnya betul-betul memahami persoalannya, namun memilih untuk tidak menjawab karena satu dan dua alasan. Jadi, dalam hal ini, menjawab soal memang tidak selalu identik dengan memahami-nya.

Kembali ke dunia pendidikan. Kita menyadari betul bahwa pendidikan kita menjejali anak-anak kita dengan begitu banyak materi pada usia mereka masih dini. Para pengajar pun seperti diburu “setoran” kurikulum, TIK, TIU, dan tetek-bengek lainnya berlomba-lomba menghabiskan materi untuk anak bimbingannya, tanpa peduli apakah mereka memahaminya atau tidak. Jadi, marilah kita renungkan cara yang terbaik dalam mendidik anak-anak kita sehingga bangsa kita kelak tidak tertinggal oleh negara lain.

Jumlah Pengunjung

  • 11.283 hits

Pengunjung Mutakhir

Lomba Blog